Hari ini di kampungku, sekolah-sekolah sedang melakukan kegiatan pembagian raport ke murid-muridnya. Seperti tradisi sebelumnya, adik-adik sekolahan terutama adik SD biasanya membawa bekal ke sekolah untuk di makan bersama teman-teman kelasnya. Tak jarang mereka membawa lebih dari porsi makan mereka sendiri, guna untuk dibagikan ke guru atau wali kelasnya. Dan bekal yang paling banyak mereka bawa adalah nasi kuning.
Dulu, kalau hari ini sudah tiba, yang paling antusias adalah saya. Karena ibu saya berprofesi sebagai guru hingga menjabat sebagai kepala sekolah, jadi biasanya kalau pulang sekolah, berbagai macam nasi kuning dan lauknya ia bawa pulang. Karena dalam jumlah yang banyak, saya dan ibu membaginya ke keluarga dan tetangga. Riang rasanya kalau mengingat moment itu. Bukan hanya setahun atau dua tahun hal itu terjadi tapi sepanjang hidup saya hingga ibu saya meninggal.
Setelah ibu meninggal, hal itu berubah drastis, tidak ada lagi nasi kuning yang bisa saya tunggu dan akan dibagikan ke tetangga. Tidak ada lagi tentengan besar yang saya sambut sepulang ibu dari sekolah. Tidak ada lagi tawa renyah di dapur bersama ibu saat memisahkan ini untuk ini, ini untuk itu, yang akan kami bagikan. Tidak ada lagi tanya dari ibu, “mau makan yang mana nak?”. Hening, dan hari ini tidak ada lagi nasi kuning untuk saya dari ibu.
Lebih dari sekedar nasi kuning, saya belajar sesuatu saat mengingat hal ini. Ternyata kehidupan itu memang silih berganti, tidak ada yang sejati dan abadi. Kehidupan seperti roda yang terus berputar, menawarkan berbagai fase yang silih berganti. Kadang kita berada di puncak kelimpahan, merasakan nikmatnya memiliki segalanya. Namun, tak jarang pula kita dihadapkan pada masa-masa sulit, ketika seolah tak ada apa pun yang bisa digenggam.
Ketika Allah menganugerahkan kelimpahan, ini adalah saat untuk bersyukur dan berbagi. Kelimpahan bukan hanya tentang harta, tetapi juga kesehatan, waktu luang, ilmu, dan kesempatan. Menggunakan nikmat-nikmat ini di jalan yang diridai Allah akan mendatangkan keberkahan. Sebaliknya, ketika kekurangan melanda, kesabaran menjadi kunci utama. Sabar dalam menerima takdir, sabar dalam berusaha, dan sabar dalam berdoa. Dengan kesabaran, seseorang akan menemukan kekuatan untuk bangkit dan melewati masa-masa sulit.
Nabi Muhammad SAW bersabda:
"Sungguh menakjubkan urusan orang mukmin. Sesungguhnya seluruh urusannya adalah kebaikan baginya. Apabila ia mendapatkan kesenangan, ia bersyukur dan itu adalah kebaikan baginya. Apabila ia tertimpa kesusahan, ia bersabar dan itu adalah kebaikan baginya." (HR. Muslim)
Dari hadis ini terlihat jelas bahwa setiap kondisi dalam hidup seseorang, baik senang maupun susah, adalah kebaikan jika disikapi dengan benar: bersyukur saat lapang, dan bersabar saat sempit. Semoga kelak saya bisa mengamalkan hal tersebut. Karena melihat diri sendiri saat ini, masih sangat jauh dari apa-apa yang harus dilakukan, diri masih penuh kerakusan, tak mampu merasa cukup dengan segala syukur. Pun jika diterpa kesusahan dan kesempitan hanya bisa mengeluh dan menggerutu, jauh dari jalan sabar.
*Seperti biasanya, saya menulis ini agar jadi pengingat jika membacanya lagi di kemudian hari. Mengingatkan diri sendiri dalam menghadapi setiap fase hidup dengan hati lapang. Saat berlimpah, menjadi pribadi yang bersyukur dan dermawan. Saat kekurangan, menjadi pribadi yang sabar dan tawakal. Karena pada akhirnya, roda kehidupan akan terus berputar, dan setiap putarannya membawa kita semakin dekat pada hakikat keberadaan kita sebagai hamba Allah.
Semoga Allah selalu menyayangi kita semua. 💛
Komentar
Posting Komentar