Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin by Tere Liye

 
Dia bagai malaikat bagi keluarga kami. Merengkuh aku dan adikku, dan Ibu dari kehidupan jalanan yang miskin dan nestapa. Memberikan makan, tempat beteduh, sekolah, dan janji masa depan yang lebih baik. 
Dia sungguh bagai malaikat bagi keluarga kami. Memberikan kasih sayang, perhatian, dan teladan tanpa mengharap budi sekali pun. Dan lihatlah, aku membalas itu semua dengan membiarkan mekar perasaan ini. 
Ibu benar, tak layak aku mencintai malaikat keluarga kami. Tak pantas. Maafkan aku, Ibu. Perasaan kagum, terpesona, atau entahlah itu muncul tak tertahankan bahkan sejak rambutku masih dikepang dua.
Sekarang, ketika aku tahu dia boleh jadi tidak pernah menganggapkulebih dari seorang adik yang tidak tahu diri, biarlah... biarlah aku luruh ke bumi seperti sehelai daun... daun yang tidak pernah membenci angin meski harus terenggutkan dari tangkai pohonnya.

 

Itulah kalimat-kalimat yang ada di sampul belakang novel karya Tere-Liye. “Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin” judul yang panjang namun memiliki makna yang dalam bagiku.

 

Novel yang beralur campuran ini membuat emosiku naik turun saat membacanya. Kisah seorang gadis kecil yang hidup bersama Ibu dan seorang adik yang harus hidup di jalanan dengan rumah kardus. Tak bisa dibayangkan bagaimana getirnya hidup yang harus mereka jalani. Tak merasakan indahnya masa-masa sekolah, malah harus merasakan panasnya terik matahari saat menyanyikan lagu dari kaca mobil yang satu ke kaca mobil lainnya di lampu merah. 

 

Namun, semua itu berubah saat seseorang yang ia sebut ‘malaikat’ datang di kehidupan mereka bertiga. Makanan, sekolah, kasih sayang, bahkan janji masa depan yang indah mereka dapat dari si ‘malaikat’ ini. 

 

Kesedihan bermula saat sang Ibu harus pergi untuk selamanya. Namun sebelum pergi sang Ibu berpesan agar si gadis tak boleh menangis kecuali hanya untuk ‘malaikat’ mereka. 

 

Perasaan-perasaan aneh muncul dihatinya, dan ia sangat tahu kalau perasaan itu untuk ‘malaikat’ keluarganya. Namun ia pendam, ia tak berani mengungkapkannya. Sampai kejadian menyayat hati harus ia terima, sang ‘malaikat’ akan menikah, dan bukan dengannya. 

 

Namun, potongan-potongan kejadian terkumpul dan membentuk sebuah kebenaran yang tersembunyi, kebenaran yang seharusnya mereka akui, tidak disembunyikan, tidak dipendam, dan tidak mereka biarkan kebenaran itu membuat mereka hidup dalam kelam dan ‘sakit hati’. 

 

Dalam buku ini, aku belajar banyak hal, salah satunya... “jika kau memiliki perasaan pada seseorang, jangan memendamnya, katakan meski itu akan terasa sangat berat dan membutuhkan banyak keberanian bahkan semua keberanian yang kau miliki. Jika tidak, kau hanya akan mendapati dirimu dipenuhi penyesalan, membuat dirimu duduk di bawah pohon berjam-jam menatap datar ke arah danau tanpa sedikit pun lepas dari kutukan pada diri sendiri mengapa tak mengatakannya. Apapun jawabannya, setidaknya kau telah membuatnya mendengar dari bibirmu sendiri kalau kau memiliki perasaan yang tidak pernah bisa kita mengerti. Perasaan itu kusebut Cinta.. 

 

Entahlah aku sendiri juga tak tahu bisa mengaplikasikannya (sepertinya tidak :p), namun itu yang kudapat di novel ini. 

 

Tere-Liye membuat bendungan-bendungan air di mataku meluap, seperti novel-novel karyanya yang telah kubaca sebelumnya, ia mengumpulkan, dan menjahit kata demi kata hingga membentuk sebuah novel yang setara dengan gaun indah sang putri raja. Ditambah lagi saat membaca novel ini, lagu dari Onew-SHINee ‘the name I love’ kujadikan background. Entah, tak terlalu kupahami isi dari lagu itu namun saat mendengar ‘the name I love’ sambil membaca ‘Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin’ diriku terbawa dan masuk ke kehidupan sang gadis, bahkan terlalu dalam menyentuh hingga lubuk hati. Mataku bengkak karena novel dan lagu ini

  

Katakan, katakan perasaanmu padanya apa pun jawabannya. Kebesaran hati adalah menerima semuanya dengan ikhlas. Aku (ILa) hanya tidak ingin kisah kalian seperti kisah si gadis dan ‘malaikat’-nya.

 

see you ~

 

Komentar