• Home
  • Features
  • Fiksi
  • Travel
  • Privacy Policy
  • SEBUAH SURAT

    hello...
    kali ini saya akan memposting sebuah cerpen.
    sepertinya sudah lama sejak postingan terakhir dengan tagar cerpen.
    Cerpen kali ini saya tulis tahun 2012. hahahaa lima tahun yang lalu. Tulisan terbaru? cerpen terbaru? tidak ada. hahahah sejak lulus kuliah, semangat menulis saya menurun. sangat malah. mungkin bahkan sama sekali tidak penah menulis cerpen lagi. entahlah, saya lupa. jika ada, paling satu atau dua.
    obat untuk malas menulis apa ya?
    mungkin butuh bintang inspirasi, seperti kata Luhde di film 'Perahu Kertas'. sampai sekarang belum yakin sih mana bintang inspirasi saya. are you? hahahhaha


    silakan menikmati sajian cerpen saya...




    Sebuah Surat
                Aku selalu merasa minder saat di kampus. Aku rasa kastaku selalu berada di urutan paling bawah diantara mahasiswa lainnya. Bagaimana tidak aku berkata seperti itu, lihat saja diriku, diantara semua teman sekelasku, hanya aku yang tak memiliki komputer jinjing atau biasa kudengar orang-orang menamainya ‘laptop’. Eh, jangankan komputer jinjing, komputer yang gak bisa dibawa kemana-mana karena layarnya segede televisi aja aku gak punya. Kalian bilang itu bukan masalah? Coba lihat alat komunikasi yang setiap hari aku bawa, HP yang bertipe sangat jadul ini selalu menjadi olok-olokan temanku sebagai benda pelempar mangga. Meskipun aku menanggapinya dengan candaan pula, tapi dalam hati selalu miris. Penilaian kasta terbawah berdasarkan ketragisan hidupku belum sampai di sini, aku juga menilai dari pakaian yang setiap hari kupakai ke kampus. Warna kusam dan lusuh sudah menjadi pakaianku setiap hari, dan lagi lemari tua di kost yang super murah, hanya berisi beberapa lembar.

                Sebenarnya dulu tak seperti ini, hidup kami sangat baik, lebih dari cukup malah. Tapi itu waktu aku masih duduk di sekolah dasar, sebelum perusahaan ayah bangkrut dan tak bersisa apapun. Jadilah ayah memutuskan untuk pindah ke kampung halamannya, kampung yang membesarkannya. Awalnya aku tak setuju, aku tak suka tinggal di kampung. Namun karena bujukan ayah, akhirnya aku mengiyakan. Keadaan ayah di kampung jauh berbeda pada saat tinggal di kota dulu, dan kini kami semakin miskin, semakin tak punya apa-apa. Namun ayah tetap keukeh untuk tinggal di kampung, ia sudah trauma untuk membangun bisnis lagi, atau hanya sekedar kembali ke kota.
    Saat lulus di sekolah menengah atas, aku harus kembali ke kota untuk melanjutkan kuliahku. Dan beginilah keadaanku di kampus, menjadi anak yang kastanya paling bawah, menurutku. Karena tidak tahan dengan keadaan seperti itu, pertengahan semester kemarin aku mengirim surat ke kampung. Tapi karena balasannya tidak sesuai yang kuinginkan, jadi aku membulatkan tekat pulang ke kampung dan membolos kuliah selama seminggu.
                Saat di kampung, aku tidak pernah memasang wajah cerah, mendung dan awan gelap sepertinya bermain di wajahku. Ayah dan ibu sudah tahu alasan dari ketidaksenanganku. Mereka membacanya dari surat yang kukirimkan sebelumnya. Pagi saat cahaya matahari mulai masuk ke ruangan melalui celah-celah batang bambu yang sudah sejak dulu menjadi dinding rumahku sungguh terasa menyedihkan, aku yang duduk di atas sebuah tilam yang juga terbuat dari bambu terkejut mendapati ayah duduk bersila tepat di sampingku.
                “Sedang apa nak?” suara ayah terdengar merendah, dan aku tahu kalimat itu hanya basa-basi. “Kenapa tiba-tiba pulang, nak?” pertanyaan ayah terasa menusuk.
                Aku diam
                “Atau jangan-jangan karena itu?” mendengar kata ‘itu’ dengan sedikit penekanan dari suara ayah menarik perhatianku untuk meliriknya. “Ayah tahu itu sangat penting, tapi...” kalimat ayah menggantung, dan aku masih terdiam. Aku pikir ayah akan melanjutkan bicaranya, namun dia juga ikut diam menikmati secangir kopi yang sudah dingin.
                Aku tidak tahan dalam suasana seperti ini, jadi aku memberanikan diri menyinggung kata ‘itu’ yang sejak tadi membawa atmosfir kurang enak di sekitar kami. “Aku sudah lama kuliah, pak. Malu sama teman-teman karena cuma aku yang tidak punya. Lagian, setiap mahasiswa pasti membutuhkannya agar cepat selesai. Ayah mau melihatku cepat wisudah kan?” kataku panjang lebar dengan nada membujuk.
                “Iya, ayah mengerti. Tapi ayah tidak bisa memenuhinya sekarang. Kau tahu kan bagaimana keadaan kita,” katanya lalu menyeruput kopi dingin yang sejak tadi tak habis-habis.
                “Ya sudah. Rasanya percuma aku pulang,” dengan kesal aku beranjak dari tempatku duduk dan meninggalkan ayah.
    ###

                “Kamu sudah mau ke kota, nak?” kata Ibu saat aku pamit.
                “Iya, bu.”
                “Kenapa cepat sekali?”
                “Percuma aku di sini, bu. Ayah tidak menghiraukan keinginanku,” jawabku lusuh.
                “Bukan begitu maksud ayahmu, dia pasti akan membelikannya untukmu, tapi kau sabar dulu, bukan sekarang.”
    Aku hanya diam, lalu melangkah keluar rumah.
                “Ini, tadi ayahmu titip sebelum ke kebun,” ibu menyodorkan sebuah amplop.
                Air wajahku tiba-tiba berubah, bukan main senangnya aku. Aku yakin pasti isi amplop itu uang untuk membeli apa yang kuidamkan selama ini. Karena telah tahu isinya apa, jadi aku langsung memasukkannya ke dalam tas. “Terima kasih bu, aku pergi dulu. Salam buat ayah,” ucapku sambil melambaikan tangan.
                Akhirnya keinginanku terwujud juga. Kemarin aku kira dengan pulang kampung seperti ini hanya sia-sia,tapi salah. Di dalam bus yang membawaku kembali ke ibu kota tempatku menuntut ilmu, aku merogoh celah tas tempatku menyimpan amplop dari ayah yang dititipkannya ke ibu. Aku penasaran berapa rupiah yang ayah berikan. Setelah menemukan amplop itu, aku membukanya dan merogoh isinya. Uang dan eh, hanya lima puluh ribu rupiah. Masih ada satu, selembar kertas.
                Aku membuka lipatan kertas itu, di dalamnya ada tulisan yang aku sangat tahu itu tulisan ayah.


                Nak, maafkan ayah.
    Ayah tidak bermaksud untuk mengecewakanmu. Ayah sangat ingin membelikanmu laptop, tapi kau tahu kan nak, bagaimana keuangan kita. Untuk membayar SPP-mu saja, kadang ayah harus meminjam uang. Ayah tahu, ayah bukan ayah yang baik untukmu, ayah tidak bisa memenuhi keinginanmu, ayah juga membuat kau menderita, tapi ketahuilah nak, ayah sangat menyayangimu. Semua hal ayah kerjakan untuk membuatmu menjadi lebih baik dari ayah, tapi sekeras apapun ayah bekerja tetap saja belum cukup. Ayah tidak tahu harus berbuat apa lagi, nak, untuk mendapatkan uang sebesar itu. Kau sudah besar nak, kau sudah tahu mana yang baik dan tidak, jadi ayah mohon jangan karena ayah tidak bisa memenuhi keinginanmu untuk memiliki laptop kau melakukan hal yang tidak diajarkan agama kita atau kau malah memutuskan kuliahmu. Hanya ini yang ayah minta darimu nak, meski rasanya ayah tidak pantas meminta karena tak memenuhi keinginanmu.

                Aku menutup lipatan kertas itu sambil menghapus air mata yang jatuh. Aku telah salah menjadi anak. Aku telah memaksakan kehendak pada ayah yang sudah berapa kali ia katakan kalau ia belum bisa memenuhinya. Benar kata teman-temanku, kekuatan sebuah tulisan memang sangat dalam dari ucapan. Aku baru sadar betapa besar pengorbanan ayah untuk memenuhi kebutuhanku, bahkan ia sampai harus pindah ke desa agar tetap bisa menghidupi kami. Seharusnya aku yang meminta maaf, bukan ayah. Gerimis yang mulai terlihat di balik jendela bus seperti menemani air mata yang jatuh dari mata seorang mahasiswa.


    Maros, 12 januari 2013

    Posting Komentar