Man Jadda Wa Jadda
Sebuah cerpen yang telah dimuat di media cetak.
Terinspirasi dari perjuangan teman-teman setim saat menyusun proposal untuk PIMNAS...
Langit sedang
mendung saat aku dan ketiga kawanku duduk di taman kampus. Banyak hal yang kami
bicarakan. Mulai dari masalah-masalah kuliah sampai hal-hal konyol yang membuat
mata mereka yang sedang melewati taman tertuju pada kami yang mengeluarkan
suara keras saat tertawa. Kebiasaan itu sudah kami lakukan sejak pertama masuk kuliah. Meskipun kami bukan dari jurusan yang sama namun
pertemanan kami sangat erat. Bisa dibilang taman di pojok lapangan merupakan
tempat favorit kami. Bagaimana tidak, setiap ada waktu luang kami pasti ngumpul
di sana. Tidak seperti mereka yang menghabiskan waktu luang di luar kampus atau
lebih sering jalan-jalan ke mall. Bagi kami jalan-jalan ke mall itu sangat
tidak penting untuk dilakukan. Selain menghabiskan waktu dan uang, tenaga juga
terkuras. Kami sepakat untuk menggunakan waktu luang untuk berdiskusi di bawah
pohon rindang yang kami beri nama “Si Ijo”. Namun, sepertinya kata “diskusi”
hanya sekedar ucapan saja. Buktinya, kami lebih sering bergosip, dan cengengesan
tertawa di sana.
“Eits, hampir
lupa,” Lia memukul dahinya.
“Apa? Lupa apa?”
seperti dikomando, kami bertiga serempak bertanya hal yang sama pada Lia.
“Ini ada lomba
karya ilmiah, kalian mau ikut nggak?” tanya Lia
antusias
“Bagus tuh, ikut
yuk!” ajak Baim.
“Iya, daripada
kita gak ada kerjaan, cuma nongkrong di sini, bagaiamana kalau mencoba sesuatu
yang baru,” Yatni menambahkan.
“Aku ikut kalian
aja deh... hehehehe” ucapku disambut ‘huuuu’ dari ketiga teman-temanku.
Akhirnya kami
berempat disibukkan oleh lomba karya ilmiah itu. Namun, ternyata pembuatannya
tidak semudah yang kami bayangkan. Kami baru tahu kalau lomba karya ilmiah yang
dibawa Lia kepada kami ternyata bukan lomba karya ilmiah seperti biasanya.
Lomba ini memiliki serentetan persyaratan. Dan syarat yang paling wajib
dipenuhi adalah, bukan hanya sekedar menulis karya ilmiah, namun tulisan itu
harus berupa laporan kegiatan. Jadi intinya, selain menulis kita juga harus
bekerja di lapangan.
“Yakin mau ikut lomba
ini” tanya Baim.
“Iya, kalian
yakin? Sepertinya berat loh,” Yatni menambahkan.
“Pokoknya kita
harus ikut! Berat atau ringan gak masalah yang penting jalan. Ayolah
kawan-kawan, masa begini aja kita nggak
bisa. Bagaimana, Ca?” Lia melirikku.
“Aku mah ikut
kalian aja...” ucapku cuek.
“Huuuu... dari
tadi yang kamu katakan itu mulu,” Yatni memanyunkan bibirnya.
“Ok... ok... benar
kata Lia, nggak ada salahnya kita coba,” entah mengapa Baim terlihat bijaksana
saat itu, ya mungkin saat itu saja. Aku tertawa dalam hati melihatnya.
“Sip deh, nggak
ada penolakan lagi. Besok kita mulai bekerja!” Sudah
pasti lia yang menjadi ketuanya, dia yang paling bersemangat.
Setelah berembuk,
akhirnya kami memilih untuk membuat karya ilmiah yang berhubungan dengan pengabdian
kepada masyarakat. Sebelum memulai menulis, kami terlebih dahulu harus
menentukan lokasi penelitian, dan salah satu desa yang letaknya lumayan jauh
dari kampus menjadi pilihan kami. Desa ini sebenarnya tak begitu jauh dari
pusat kota, namun entah mengapa keadaan di desa ini menyedihkan. Bisa dibilang
desa ini sangat tepencil. Sekolah formal untuk menengah atas saja tidak ada,
karena itu masyarakat desa ini kebanyakan hanya lulusan SMP.
Baim memang jago
dalam hal seperti ini. Tak salah kalau ia kami juluki si penjelajah. Hampir
seluk beluk kota kami ia tahu, dan tentunya dari dia kami dapat info desa ini.
Untung Yatni yang taraf kehidupannya juara diantara kami rela membawa mobil
merahnya memasuki desa meski dengan jalanan yang sama sekali belum tersentuh
oleh mulusnya aspal. Sempat mengeluh sih,
tapi melihat semangat Lia yang melebihi semangat 45, Yatni sepertinya merasa
keluhannya akan sia-sia.
Dalam dua minggu
ini, sudah beberapa kali kami ke desa itu, lelah juga sih harus bertanya ini
itu pada masyarakat, untungnya kepala desa di sana sangat baik dan terbuka,
jadi segala kegiatan kami di sana berjalan lancar. Karena proses pengambilan
data dan perencanaan kegiatan sudah kami jalankan, maka kini saatnya kami
menulis karya ilmiah itu.
“Melelahkan juga
ya...” aku mulai mengeluh.
“Iya, capek urus
ini terus, mana tugas kuliah juga numpuk... huuuffttt,” Yatni ternyata juga
sama denganku.
“Masa gitu aja
kalian udah nyerah.” Ampun
deh ini Lia, dia gak sedikitpun menjadikan ini beban.
“Aku juga sih, lelah.
Tapi kita sudah sejauh ini, tinggal sedikit lagi karya ilmiah kita selesai.”
Baim berkomentar lalu diam. Lalu tiba-tiba hening, tak ada suara dari kami.
Entahlah apa yang ada di fikiran masing-masing yang pasti aku merasa sangat
lelah mengerjakan semua tentang karya ilmiah itu.
“Jadi?” Lia menatap
kami satu-satu.
“Jadi apa?” Yatni
mengerutkan
keningnya.
“Jadi kalian mau
lanjut atau tidak? Percuma melanjutkannya kalau kalian tak sungguh-sungguh,
hanya setengah hati, atau malah karena tidak enak dengan aku yang sejak awal
menggebu-gebu ingin ikut lomba ini,” ucap Lia, lalu kemudian semua terdiam
lagi. Atmosfir diantara kami juga tiba-tiba berubah menjadi aneh, ada
ketegangan yang kurasa. Apa Lia kecewa
pada kami? Tanyaku dalam hati.
“Man jadda
wa jadda,” suara Baim
terdengar lantang dan berhasil membuat kami bertiga kaget setengah mati. “Man jadda
wa jadda kawan-kawan,
siapa yang bersungguh-sungguh dia yang mendapatkan. Ayo kita lanjutkan apa yang
telah kita mulai, seberat apapun itu. Aku yakin kita pasti bisa.”
Aku seperti
terhipnotis kata-kata itu. Semangatku menjadi menggebu-gebu, “Iya! Ayo kita
selesaikan karya ilmiah ini.” Yatni pun berkata hal yang sama, dan sebuah
senyum manis terbentuk di bibir Lia.
Karena mantra Manjadda wa jadda, akhirnya karya ilmiah
itu selesai dalam waktu yang singkat.
###
Sebulan lebih
setelah pengumpulan karya ilmiah. Kami tak pernah membicarakannya lagi, mungkin
lupa atau pura-pura melupakan. Saat ritual ngumpul
di bawah ‘si ijo’ kami lakukan, tiba-tiba Lia mengacak-acak tasnya lalu
mengeluarkan selembar kertas. “Nih, pengumuman lomba kemarin,” katanya tanpa
ekspresi.
Aku langsung
menyambarnya dan memfokuskan mata pada nama-nama yang tertera di sana. Aku
memanyunkan bibir, “nama kita tidak ada, kita tidak lolos.” Yatni mengambil
kertas yang ada di tanganku, disusul Baim. Semua terdiam. Kecewa, aku yakin
semua pasti kecewa.
Tiba-tiba Baim
mengambil nafas panjang lalu menghembuskannya, “ini kan lomba, pasti ada kalah
ada menang. Ya sudah kalau kita tak lolos,” dia tersenyum.
“Tapi kan kau yang
bilang Manjadda wa jadda, siapa yang
bersungguh-sungguh dia yang mendapatkan, tapi lihat, apa yang kita dapatkan,
tidak ada!” kataku sambil melipat kedua tangan. Lia hanya diam.
“Siapa bilang kita
tidak dapat apa-apa. Kita memang tidak menang dalam lomba itu tapi kita menang
di banyak hal. Coba ingat kembali, dalam mengerjakan karya ilmiah ini, kita
telah mengalahkan ego kita, kita telah mendapatkan banyak pelajaran dari
penduduk desa, kita bisa semakin menguatkan, aku juga merasa karya ilmiah ini
membuatku semakin memahami bagaimana cara menulis ilmiah yang baik. Jadi kita
telah mendapatkan banyak hal dari kerja keras kita, kawan-kawan,” kata-kata
Yatni membuat kami saling berpandangan dan menyunggingkan senyum terbaik. Benar
katanya, kami memang tidak menang, tapi kami mendapatkan banyak hal dari sana.
“Ahhh... Yatniiii,
kau sungguh bijak,” Lia memeluk Yatni.
“Mau dong dipeluk
juga,” Baim cengengesan.
“Jiaaahhhh...”
kami bertiga memuku Baim, lalu tertawa terbahak-bahak seperti biasanya.
“Kita memang gagal
kali ini kawan-kawan, tapi lain kali kita pasti menang!” Lia mengepalkan
jarinya lalu mengangkatnya tinggi-tinggi, semangatnya memang selalu juara
diantara kami. Aku tersenyum kagum padanya.
Ila aswil
Man jadda wa jada, yg terakhir tdk tasydid atau dobel huruf "d". Krn kalau dobel, lain lg artinya :)
BalasHapus