AKU, SKRIPSI DAN EMAK



Cerpen yang telah dimuat di Surat Kabar Kampus Unhas, Identitas.



“Nih, ada surat untukmu.” Caka teman satu pondokanku menyodorkan sebuah amplop kecil.
            Belum kubuka amplop itu, Putra teriak dari lantai atas, “Hari gini masih surat-suratan… romantis banget…” disusul tawa dari seluruh penghuni pondokan yang ada saat itu.
            “Hus… ini dari Emak di kampung tahu!” kataku
            “Kirain dari si ehem..ehem…” Putra kembali menggoda tapi aku tak menghiraukannya.
            “Lah, kok masih pake surat? Sekarang kan sudah ada alat komunikasi yang canggih, Handphone.” Riko si wajah bule angkat bicara.
            “Di kampungku signal belum ada Rik, lagian Emak tak punya HP. Jadi selama kuliah aku cuma bisa berkomunikasi lewat surat. Itupun jarang, kalau ada yang penting saja.”
            “Berarti kali ini ada yang penting Jar. Kalau ada apa-apa bilangin kita-kita ya…” ucap Riko sambil berlalu menuju kamarnya.
            “Iya, memang sepertinya ada yang penting.” Gumamku. Dengan sejuta penasaran, aku segera menuju kamar yang ada di lantai dua. Kubuka pintu dan masih memandangi amplop yang di depannya bertuliskan  -Untuk Fajar di Makassar-  kutaruh tas di samping lemari, lalu duduk di tepi ranjang. Kubuka amplop putih itu. Entah mengapa perasaanku jadi tak karuan. Detak jantung menjadi semakin kencang. Amplop itu sedikit basah karena tanganku yang mengeluarkan keringat berlebih. Aku takut di dalam amlpop itu ada berita yang tak bisa kuterima. Tapi kucoba untuk menenangkan diri sebelum membaca kertas yang isinya kutahu jelas bukan tulisan Emak. Pikiranku semakin kacau, mengapa bukan Emak sendiri yang menulisnya? tanyaku pada diri sendiri.  Aku memulai membaca surat itu, pertama-tama aku membalas salam dari awal isi surat itu, kulanjutkan membaca dengan sangat teliti. Sesekali kunaikkan ujung kacamataku. Dengan wajah yang tegang kuresapi satu per satu kalimat surat itu. Dua lembar, cukup panjang namun hanya mengabarkan satu pesan pilu, Emak sakit. Sakitnya parah dan dia ingin aku segera pulang.
            Selesai membaca surat itu, aku terdiam, lama… hingga aku memiliki tenaga untuk melipat kertas itu dan memasukkannya kembali ke dalam amplop. Kurebahkan diri di tempat tidur. Kupandangi langit-langit kamarku yang penuh sarang laba-laba. Tak terasa empat tahun sudah aku meninggalkan kampung dan Emak untuk menuntut ilmu tanpa pulang sekalipun. Aku sudah berjanji untuk tak kembali ke kampung sebelum kupersembahkan secarik kertas kepada Emak yang menandakan bahwa aku telah menuntaskan tugasku untuk meraih gelar sarjana. Tapi kali ini Emak sakit, sakit keras kata surat itu dan dia ingin aku segera pulang. Sekarang tak mungkin aku pulang, saat ini aku sedang mengurus skripsi dan sebentar lagi akan selesai. Lagian, aku tak mungkin mengingkari janjiku pada diri sendiri untuk tidak pulang ke kampung sebelum mendapat ijazah. Kututup wajah dengan kedua tangan, aku harus bagaimana?
            Tak terasa aku tertidur, dan bangun saat adzan magrib berkumandang. Kukira aku hanya bermimpi kalau Emak sakit, tapi ini nyata, surat itu masih ada di samping tanganku, tergeletak di kasur. Aku beranjak dari tempat tidur dengan perasaan dilema, antara pulang atau tetap tinggal menyelesaikan skripsiku. Untuk menemukan jawaban saat keadaan seperti ini, aku pasti memintaNya untuk membantuku. Selesai shalat magrib, kali ini doaku sangat panjang dan diakhiri dengan mendoakan kedua orangtuaku yang mencurahkan seluruh kasih sayangnya padaku, kutahu itu pasti.
            Kubuka laptop, lalu kucari file dengan judul skripsi. Malam ini aku harus segera memperbaiki tulisan-tulisanku yang kata dosen pembimbing harus diubah. Belum selesai beberapa bagian, aku teringat Emak kembali. Konsentrasiku pada skripsi menjadi buyar. Aku tak bisa menyelesaikan perbaikan skripsi malam ini. Aku menutup laptop, mataku kembali melirik surat dari kampung. Perasaanku kembali kacau, aku benar-benar bingung tak tahu harus melakukan apa.

            Esoknya aku kembali ke kampus meskipun hari ini tak ada janji bertemu dengan dosen pembimbing.
            “Hey bro!” Anas teman seperjuangan mengurus skripsi membuyarkan lamunanku.
            “Hey…” balasku namun dengan suara lemah.
            “Ada apa bro? Lemas banget? Ada masalah ya? Atau pusing dengan skripsi…” Anas menambahkan tawa kecil saat menyebutkan kata skipsi.
            “Iya, skripsi… ufffttthhh…” aku menghela nafas.
            “Nyantai aja bro, jangan diambil pusing.”
            “Tapi ada yang lebih memusingkanku…” aku tanpa diminta oleh Anas, bercerita tentang kebingunganku masalah Emak. Dengan seksama Anas mendengarkan semuanya.
            “Pulang aja lah dulu, Jar.”
            “Tapi aku sudah janji pada diri sendiri untuk tidak pulang sebelum ijazah ditangan.”
            “Tapi Emakmu membutuhkanmu sekarang.”
Aku terdiam tak tahu harus berkata apa.
            “Tapi terserah dirimu bro, kau yang menjalani, hidup itu pilihan. memilihlah!” Anas menepuk pundakku lalu meninggalkanku sendiri. Mungkin dia membiarkanku untuk berfikir dan memilih, janji pada diri sendiri atau Emak.
            Sepulang dari kampus, aku berniat untuk menyelesaikan semua perbaikan skripsiku. Tak boleh ditunda lagi! Selesai mengerjakan semuanya, aku hendak memprintnya. Tapi kertasku habis. Aku teringat pada Caka yang katanya tadi akan keluar membeli tinta print, aku bemaksud untuk menitip kertas padanya. Kucari Handphoneku untuk menelfon Caka, kugeledah tas, tak ada. Kucari di meja, tak ada. Aku baru sadar, Hpku tak ada. Kucari lagi, kubongkar semua barang yang ada di kamar, nihil. Hpku benar-benar hilang. Dimana… dimana Hpku? Arrrgggghhhh…. Atau jangan-jangan tadi terjatuh. Kupandangi tasku yang robek di sisi kanan. “Arrrrggghhhh…. “ teriakku sambil mengacak-acak rambut.
            “Jar, ada apa?” kudengar teriakan Putra dari arah luar.
Kubuka pintu lalu dengan wajah muram “Hpku hilang. Ada yang lihat tidak?”
            “Hilang? Kenapa bisa?”
            “Entahlah… aku juga baru sadar kalau Hpku hilang.” Aku masuk kamar lagi, dan menutupnya. Ngeprint skripsi aku tunda. Kuberesakan barang-barang yang ada di meja. Aku kembali merenung.
            Seperti mendapat sesuatu yang ajaib, aku mengambil kertas dan pulpen. Aku memutuskan untuk tak pulang, aku ingin menyelesaikan skripsi dan wisudah dulu sebelum pulang. Aku mulai menulis kalimat demi kalimat, namun tak terasa ada yang mengalir di pipiku, aku menangis. Entah apa yang akan dikatakan orang jika melihat seorang lelaki sepertiku menangis. Aku sebenarnya sangat ingin pulang tapi menurutku janji seorang lelaki pada diri senidiri pantang untuk diingkari. Di dalam surat itu aku meminta maaf pada Emak karena tak bisa pulang, aku juga menjelaskan yang sebenarnya, menjelaskan alasan mengapa aku tak pulang. Sebelum memasukkan surat itu ke dalam amplop, aku berdoa pada Tuhan agar sakit Emak tidak separah yang kubayangkan dan agar Emak segera sembuh kembali.
            Dua minggu kemudian aku mendapat surat lagi dari kampung. Kali ini aku takut membukanya. Aku benar-benar takut. Tapi teman-teman sepondokan memberiku keberanian untuk membukanya. Kata mereka apapun isi surat tu, itu sudah menjadi keputusan Tuhan, dan keputusan Tuhan itu semua untuk kebaikan kita.
            Akhirnya aku membukanya. Tak seperti yang kutakutkan, ternyata isi surat itu menyatakan bahwa Emak sudah sembuh, dia sudah bisa berjalan kembali. “Tuhan mendengar doaku, Emak sembuh.” Air mukaku menjadi sangat ceria. Teman-teman juga sangat senang mendengar itu. aku seperti mendapat kekuatan yang sangat besar untuk menjalani hari-hari di kampus terlebih kekuatan untuk ujian akhir minggu depan.
            Sebulan kemudian, aku telah diwisudah. Ijazah sudah di tangan. Tanpa berfikir panjang, aku membereskan barang-barangku. Aku ingin pulang. Aku ingin memberi ijazah ini pada Emak. Aku rindu dengan senyum Emak yang terakhir empat tahun yang lalu aku melihatnya saat melepasku untuk menuntut ilmu di kota. Aku rindu kampungku, aku rindu tetanggaku, pokoknya aku rindu pada semuanya. “Emak… aku pulang!” teriakku dari dalam kamar.
            Setelah pamit pada teman-teman sepondokan, aku menenteng tas besarku menuju terminal.
            Di perjalanan, tak henti-hentinya aku memandangi ijazah yang kupegang. Senyumku tak pernah pudar, ingin rasanya kuberi tahu pada dunia kalau aku sudah sarjana. Karena kelelahan, aku tertidur. Sepuluh jam naik bus, akhirnya sampai juga di terminal. Perjalanan belum sampai di situ, aku harus naik bus mini lagi selama tiga jam untuk sampai di kampung tercinta.
Mungkin karena sangat bahagia, aku tak merasakan lelah sama sekali. Aku memasuki kampungku. Empat tahun kutinggalkan dan ternyata tak ada perubahan yang mencolok. Aku seperti baru kemarin pergi untuk kuliah dan hari ini kembali lagi. Bus mini berhenti tepat di halaman rumahku. Rumah yang usang, pikirku. Tapi penuh dengan kenangan yang tak bisa hilang. Aku bergegas turun, dengan senyum mengembang dari wajahku aku sodorkan uang pada sopir. Tapi ada yang aneh, orang-orang dalam bus mini itu memandangiku, seperti memandangi orang yang bersalah, tatapan mereka sinis, atau mungkin hanya perasaanku saja. ahh… tak kuhiraukan. Aku berlari menuju pintu rumah. Aku berteriak dari arah luar “Emak… aku pulaaaaang!” tak ada jawaban. Sekali lagi kucoba. Masih tak ada jawaban. Beberapa kali aku berteriak namun tak ada jawaban.
Tiba-tiba datang tetanggaku, “Kamu Fajar?” tanyanya dalam bahasa daerah.
“Iya, saya. Om tahu Emak dimana?” tanyaku dalam bahasa daerah juga.
“Fajar, kenapa baru pulang?” pertanyaanku belum dijawab malah dia bertanya balik. Tapi sudahlah, “Baru selesai di wisudah” jawabku.
“Anak durhaka…” gumamnya.
“Apa? Om, bilang apa?” gusar aku mendengarnya.
“Emak  kamu sudah meninggal.” Seperti disambar petir, aku tak percaya apa yang dikatakannya. Aku terdiam, aku memandangi orang yang kupanggil om itu. “Iya, Fajar Emakmu sudah meninggal. Dia sudah dikubur dua hari yang lalu, kami tidak bisa menghubungimu, kami menyuruh kepala desa menelfonmu tapi Hpmu tidak aktif, mau dikirimi surat juga percuma karena paling akan sampai satu minggu kemudian.” Aku terdiam. “semua warga di sini menganggapmu anak durhaka karena tak pulang-pulang.” Lanjutnya. Ingin rasanya kujelaskan mengapa aku tak pulang tapi sesak di dada membuatku bungkam, aku kehilangan Emak dan warga di sini mengangaggapku anak durhaka. Atau memang aku durhaka pada Emak? Aku tak kuasa lagi, aku terduduk di depan pintu rumah dan menangis sejadi-jadinya. Sebelum pergi, orang itu menunjukkan dimana Emak di makamkan. Aku berlari sekuat tenaga menuju pusara Emak. Disana tangisku semakin menjadi-jadi, aku tak bisa melihat Emak lagi, aku tak bisa mendengar petuah-petuah dari Emak lagi. Dan yang membuat aku bertambah pilu, aku lebih mementingkan janjiku pada diri sendiri dari pada Emak. Aku terus menerus meminta maaf di pusara Emak, aku takut jika benar kata orang kalau aku anak durhaka. Aku benar-benar menyesal, tapi tak tahu juga harus berbuat apa, nasi sudah menjadi bubur. Emak Maafkan Aku…
Sanrego, 24 maret 2012

Komentar