SANG EDITOR (Sebuah Cerpen)
yuuuhuuuu... kali ini ila akan berbagi cerpen!
cerpen ini sebenarnya sudah lama, dan sudah diterbitkan di salah satu media cetak...
yang suka baca cerpen, monggo silakan dinikmati.. hehehehe
SANG EDITOR
“Ahhh... akhirnya selesai juga.” Kudorong
kursi kebelakang sambil merenggangkan semua otot-ototku yang sepertinya mulai
kaku. Hari ini pekerjaan sangat banyak, sejak pagi tumpukan file yang akan
diperiksa tak henti-hentinya berdatangan. Kalau sudah seperti ini kadang ingin
rasanya berhenti bekerja. Tapi jika kuingat lagi banyak diluar sana yang tak
punya pekerjaan alias menanggur, aku pasti memaki diri sendiri yang tak pandai
bersyukur. Sudah setahun aku bekerja di perusahan penerbitan ini. Selesai
wisudah tahun kemarin, aku melamar pekerjaan di sini dan tak disangka aku
langsung diterima. Sejak dulu aku memang sangat ingin bekerja di perusahan
penerbitan, karena kegemaranku menulis, entah itu cerpen, puisi maupun artikel,
saya rasa perusahan penerbitanlah yang paling pas untukku. Namun ternyata
posisi yang diberikan padaku saat ini kurang begitu pas dengan kegemaranku, aku
diberi tugas untuk memeriksa semua file atau naskah-naskah yang akan
diterbitkan. Otomatis secara tidak langsung produktifitasku untuk menulis
menurun karena aku hanya bekerja sebagai pengedit. Sebenarnya dulu aku membenci dan trauma dengan yang namanya
editor. Aku memiliki kenanangan buruk dengan yang namanya editor. Namun lambat
laun aku berusaha untuk meredam amarah dan rasa trauma itu dengan belajar unuk
mengikhlaskan semuanya. Mungkin salah satu cara terbaik adalah dengan menekuni
profesi sebagai editor.
Sudah dua tahun kejadian itu berlalu
namun masih tergambar jelas rekaman-rekaman peristiwanya di kepalaku. Selalu
kuajak diriku untuk berdamai dengan tidak membenci namun rasa sakit hati sepertinya
enggan menjauh dari diriku. Sebenarnya aku belum sepenuhnya mengikhlaskan namun
sudahlah nasi telah menjadi bubur.
Kejadian itu terjadi saat aku duduk
di bangku kuliah. Karena kegemaranku menulis cerpen, saat masih kuliah aku
sering mengirim atau menawarkannya ke berbagai surat kabar ataupun majallah.
Teman-teman di kampus juga banyak yang mendukungku, termasuk sahabatku Ika. Dia
yang paling rajin memberi infomasi jika ada lomba mengenai tulisan, baik lomba
cerpen, essai, maupun puisi. Ika juga suka menulis, namun keberuntungan belum
berpihak padanya saat itu, tulisan-tulisannya belum ada yang termuat di surat
kabar atau media manapun. Jadi dia lebih mendukungku untuk menulis dari pada
ikut berpartisipasi.
“Baca apa Yu?” Ika membuyarkan
konsentrasiku pada bacaan saat dia tiba-tiba datang dan menepuk pundakku dari
belakang.
“Apa yu…apa yu… apa yu…” latahku
kambuh.
Ika tak bisa menahan tawanya, dia
memang selalu mengerjaiku dengan mengagetkanku. “Sudah Yu… sudah… malu tahu
diliati orang-orang.” Ucapnya masih diselingi tawa.
Aku mencoba mengatur nafas, dan
menguasai diri untuk tidak latah lagi. “Kau sih hobbynya kerjain orang!”
“Hahaha… soalnya kau lucu kalau lagi
latah…hahahaha” tawa Ika semakin menjadi-jadi.
Aku tak menggubrisnya, kulanjutkan
membaca majallah yang kupegang.
“Yeee… ngambek situe…” goda Ika.
“baca apa sih?”
“Ini ada lomba essai.”
“Ooo… mau ikut lomba?”
“Iya… tapi bingung nulis apa.”
“Kamu kan jago, masa nyari tema
tulisan aja bingung.”
“Ini beda Ka, lomba ini bergengsi,
harus betul-betul tulisan yang bagus.”
“Ooo… aku seperti biasa aja ya,
ngedit kalau kamu selesai nulis.”
“Kenapa gak ikutan juga?”
“Malas ah!” Ika memanyunkan
bibirnya.
“Okelah, bantu ngedit ya kalau
selesai kutulis.” Kataku bersemangat.
“Oce…!”
Seminggu kemudian essai yang sudah
kutulis dan kuniatkan untuk kuikut sertakan lomba kuberikan pada Ika. Seperti
biasa jika ingin tulisanku diedit olehnya kuberikan dalam bentuk file di flashdisk.
“Ok… tunggu beberapa hari lagi ya.”
Ucap Ika saat kuberikan file itu.
“Loh, kok beberapa hari lagi?
Biasanya cuma sehari kalau mau ngedit tulisanku.” Tanyaku bingung.
“Supaya lebih detail ngeditnya. Agar
titik komanya tidak ada yang luput dari penglihatanku.” Ika nyengir.
“Tapi jangan lama ya… deadlinenya
minggu depan loh!”
“Sip bos!”
Tiba-tiba sebuah kertas terjatuh
dari genggaman Ika, buru-buru Ika hendak memungutnya namun kertas yang jatuh
tepat di kakiku segera kupungut. Aku membuka dan membacanya. Disana ada
persyaratan lomba essai yang ingin kuikuti.
“Kamu mau ikut lomba juga?” tanyaku
berseri-seri.
“Hah..eh.. emm gak kok.” Jawab Ika
gugup.
“Jadi ini untuk apa?” kusodorkan
kertas itu.
“Mmm… itu untuk kamu.” Ika
sepertinya kebingungan.
“Aku kan sudah punya.”
“Oh iya, aku lupa.” Dengan cekatan
Ika merebut kembali kertas itu dari tanganku.
“Aneh.” Gumamku.
“Apa?” tanyanya.
“Enggak. Makan yuk!” ajakku
“Mmm.. gak deh Yu, aku kenyang lagian
ada urusan lain. Duluan ya.. dadadada…” seperti ada yang memburunya, Ika
berjalan sangat cepat lalu menghilang di pembelokan menuju parkiran.
Sudah tiga hari aku mencari Ika, dia
tak muncul-muncul juga. Karena kuliah kami di semester tujuh sudah berbeda jadi
kami tidak pernah sekelas. Aku ingin mengambil hasil edian essaiku. Nomor Hp
Ika juga tidak aktif. Aku mulai gelisah. Salahku juga tidak ada copyannya
kusimpan di komputer. Essai itu selesai kutulis langsung kuberikan pada Ika.
Bagaimana ini, besok batas akhir pengiriman essai. Ingin menulis ulang
sepertinya mustahil, hari ini tugas kuliah numpuk dimana lagi besok saya harus
presentasi di salah satu mata kuliah. Saat ini aku hanya bisa menunggu kapan si
Ika muncul di hadapanku dan memberikan essai yang sudah dia edit.
Satu minggu kemudian aku tidak
bertemu Ika. Lomba esaai yang rencana akan kuikuti hilang sudah. Essaiku tidak
ada, Ika juga tak tahu dimana rimbanya sekarang. Namun tiba-tiba saat aku
menuju taman fakultas, mataku menangkap sosok yang sepertinya adalah Ika.
Dengan setengah berlari aku menghampirinya, dan benar dia Ika.
“Hey Ika, kemana aja?” giliranku
mengagetkannya.
“Eh, Ayu…” seperti melihat hantu Ika
kelihatan ketakutan.
“Kamu kenapa Ka? Eh, gara-gara kamu
menghilang aku jadi gak ikut lomba esaai.” Kukeluarkan semua rasa kesalku
padanya, namun belum selesai aku berbicara, dia berdiri dan pamit perg katanya
ada urusan yang harus dia kerjakan. Sebenarnya sih aku juga menyesal telah
marah-marah padanya.
Dua minggu kemudian saat selesai
kuliah terakhir untuk hari itu, aku meluangkan waktu untuk sekedar duduk-duduk
di taman fakultas. Disampingku ada dua cewek yang sedang membaca majallah.
Majallah yang sama dengan majallah yang memuat informasi lomba essai waktu itu.
“Sabar yaa… mungkin lain kali kamu
akan menang.” Kudengar salah satu dari mereka mengeluarkan suara.
“Iya, tapi aku berharap banyak
essaiku menang.” Kata orang yang tepat disampingku.
“Eh, lomba essai sudah ada
pengumumannya ya?” tanyaku.
“Iya, ini sudah ada.”
“Boleh aku lihat?” karena penasaran
aku mengambil majallah itu. namun aku sangat terkejut. Bagaimana tidak, judul essaiku keluar sebagai juara pertama.
Tapi nama penulisnya, nama penulisnya bukan namaku. Nanda Ika Putri. Ya nama
penulisnya adalah namanya Ika. Seperti ditimpa bumi, aku langsung sesak. Ternyata
Ika telah menipuku, sahabat yang selama ini sudah kuanggap sebagai saudara
ternyata mencuri tulisanku. Bukan, dia tidak mencurinya karena jelas aku yang
memberinya. Tapi bukan untuk dia ambil hanya untuk dia edit seperti
tulisan-tulisanku biasanya. Aku sangat kecewa. Pantas saja kelakuannya aneh,
dia juga seperti ketakutan saat melihatku.
Sejak peristiwa itu, aku tak pernah
bertemu Ika, walau satu fakultas aku sangat sulit menemuinya. Nomor Hpnya
sepertinya juga sudah ia ganti. Aku sangat ingin bertemu dengannya, sampai saat
ini aku masih mencarinya. Aku telah mempercayainya sebagai editor handalku tapi
malah ujungnya dia mengklaim tulisanku sebagai tulisannya. Aku hanya ingin
bertanya satu hal padanya, Mengapa ia tega melakukan itu padaku?
Makassar, 20 Maret 2012
salam kenal juga :)
BalasHapusIm nia ^.^.. siapa dsna?? Ila?
iyya disini ila.. heheheh
Hapussalam kenal. saya menikmatinya. setiap kerjaan emang punya resiko. editor emang gak semudah kelihatannya. ini blogger penulis profesional ternyata
BalasHapussalam kenal juga... ini bukan blogger penulis profesional, masih amatiran kok.. heheheh
Hapus