• Home
  • Features
  • Fiksi
  • Travel
  • Privacy Policy
  • A Love Letter to My Ummi

    Kemarin tanggal 22 Desember, banyak yang memperingatinya sebagai hari Ibu. Beranda sosial media hampir seluruhnya postingan-postingan tentang ibu-ibu mereka. Tidak ada yang salah, hanya saja ada yang mengiris batin ini.

    Hampir dua tahun ibu pergi. Sudah dua kali perayaan hari Ibu membuat dada ini sesak. Melihat mereka yang masih bercengkrama dengan ibu mereka, masih tertawa bersama ibu mereka, memeluk, mengeluh, meluapkan segala emosi, segala hal masih mereka lakukan di hadapan ibu mereka. Saya iri, sebenarnya!!

    Saya tipe anak yang agak dimanja, sejak kecil hingga menikah hidup saya dipenuhi ibu, semua hal yang saya inginkan diusahakan oleh ibu. Bahkan sesekali saya kadang mendapatinya memaksakan diri jika tak sanggup agar keinginan saya terwujud. Begitulah hingga akhirnya berpisah dengannya membuat dunia saya seakan runtuh.

    Bukan, kali ini saya tidak akan bercerita tentang bagaimana manja saya dengan ibu. Saya hanya ingin mengiriminya sebuah surat. Mungkin bisa dibilang surat terbuka karena kalian pun bisa membacanya.

    Assalamualaikum, Ibu.

    Saya tidak bisa menemukan kalimat sapaan yang tepat untuk menyapa ibu. Lidah keluh, tangan gemetar. Saya hanya berharap Ibu selalu tenang dan bahagia di alam sana. aamiin

    Hampir dua tahun kita berpisah. Belum bisa hilang diingatan bagaimana ibu pergi. Awal ibu pergi dari rumah untuk ikhtiar berobat di kota, awal ibu masuk rumah sakit, awal ibu harus menderita dengan peralatan medis, dan awal ibu tak bisa apa-apa lagi. Semua terjadi di bulan Desember hingga Januari. Begitu singkat tapi kenangannya panjang.

    Ah, beberapa menit saya terhenti menulis surat ini bu, air mata tidak terbendung, mata jadi kabur melihat layar laptop. Kuhembuskan nafas panjang lalu mengusap air mata dan  melanjutkan lagi mengetik di keyboard. –ibu juga harus tahu ini.

    Bu, banyak hal yang terjadi di sini setelah kepergian ibu. Rumah tidak akan pernah sebersih saat ibu ada, saya tidak bisa seperti ibu yang telatennya luar biasa. Pot bunga kosong bu. Seperti halnya saya yang layu ditinggal ibu, semua bunga kesayangan ibu mati tak tersisa. Kadang jika ada yang datang bertamu, mereka menegurku agar kembali menanam bunga lagi seperti ibu dulu. Mungkin nanti bu, untuk sekarang saya masih belum bisa, masih teringat ibu terus kalau berkaitan dengan bunga dan tanaman hias. Bisa-bisa bunganya tumbuh karena air mata, bukannya disiram pakai air keran, malah disiram pakai air mata. Ibu tahu kan saya amat sangat cengeng. Hehehe

    Bu, saya menyesal. Banyak hal yang harusnya saya lakukan lebih sering dengan ibu tapi malah saya abai. Ibu suka sekali jalan, kadang mengajakku ke sana sini tapi saya yang malas keluar selalu bilang tidak mau. Ibu suka sekali kumpul dengan keluarga besar, tapi saya yang agak introvert sangat benci dengan keramaian jadi tak pernah mau ikut. Nah, karena itu banyak keluarga ibu sekarang tidak mengenalku. Hahaha saya tahu bu, salah saya sendiri. Tapi sifat malas keluar dan ketemu orang banyak masih ada hingga kini sih bu, jadi yaaaa dimaklumi sajalah…

    Bayak sih bu, yang mau saya ceritakan, tapi air mata tidak mau diajak kompromi. Lamaan ngelapnya daripada mengetik ini. Sudah dulu ya bu, lain kali saya sambung suratnya.

    Selamat hari Ibu,

    Thankyou for all you have done for me.

    Thankyou for theacing me that real queens are proud to take care of our homes.

    I miss you ever so much.

     

    Saya rindu, ibu. Sangat rindu!

    Posting Komentar