• Home
  • Features
  • Fiksi
  • Travel
  • Privacy Policy
  • Fa Dalam Perantauan Ilmu

    Akhirnya ketemu cerpen ini lagi... sudah lama cerpen ini saya buat tapi entah kenapa hilang begitu saja di folder-folder yang ada di PC, dan malam ini saya menemukannya lagi. Jadi agar tidak hilang lagi, saya menyimpannya di sini saja, dan semoga ada yang membacanya. hehehehe...

    Sebenarnya penulisan cerpen ini terinspirasi dari dua orang yang 'mungkin' tisak saling kenal dan berada di tempat yang berbeda. Satu di Bogor dan satu di Jogja.

    Alasan lain saya posting cerpen ini adalah sebagai ucapan terimakasih buat mereka berdua yang banyak memberi inspirasi. "semoga mereka bisa membaca cerpen ini... :D"

    Silahkan 'nikmati' cerpen ini....



    Fa dalam Perantauan Ilmu

    Entah apa yang ada di kepalaku saat itu sehingga aku melakukan hal sejauh ini. Kini aku berada jauh dari kedua orang tuaku, jauh dari kampung halamanku, jauh dari teman-temanku, jauh dari segala yang telah membesarkanku. Tapi nasi sudah menjadi bubur, semua telah terlanjur. Aku harus menjalaninya.

                Menginjak masa perkuliahan, aku mendaftar di salah satu universitas ternama di kota pelajar, Jogja. Bagiku, kota itu merupakan surga bagi orang-orang yang haus akan ilmu. Sejak dulu memang aku mengidam-idamkan untuk melanjutkan study di sana. Karena itu saat keluar hasil pengumuman kalau aku lulus, girangnya bukan main. Aku merasa ada di awan, melayang. Dan lagi izin dari orangtua sudah kukantongi.

                Tapi saat ada di sini, tepat seminggu di sini, aku merasa keputusanku dulu kurang tepat. Aku merasa tidak mampu beradaptasi di sini, ternyata jauh dari orangtua itu sungguh sangat tidak mengenakkan. Sebelumnya semua kebutuhanku tiap hari disediakan oleh orangtua, kini aku harus menyediakannya sendiri. Berat rasanya. Namun aku harus bertahan dan melanjutkan apa yang telah kuputuskan sendiri. Entah mengapa aku merasa keadaan tradisionalnya masih sangat kental. Aku menghibur diri dengan menikmati  keadaan Jogja yang tenang dan damai. Selain itu, kota ini memiliki banyak toko buku maupun perpustakaan. Dan memang itu semua yang membuatku sangat tergila-gila untuk menutut ilmu di Jogja.


                Bulan pertama di kampus, aku merasa sangat canggung, datang dari luar daerah Jogja membuatku tak tahu bahasa keseharian mereka, apalagi dosen yang mengajar kadang kala menyelipkan bahasa jawa di tengah-tengah perkuliahan.

                “Hey, napa Fa, bete banget keliatannya,” tanya seorang teman yang mungkin sejak tadi mengamatiku mencoret-coret kertas di atas meja.

                “Ahhh.. nggak kok,” balasku.

                “Gak mungkin gak ada apa-apa, tuh muka udah bicara, hahaha” dia tertawa namun secara sembunyi-sembunyi, dosen masih berkutat dengan penjelasannya yang sejak tadi tak ada yang masuk di otakku.

                “Mmm... mungkin ini yang dinamakan kultur shock ya Ti,” dan aku pun bercerita panjang lebar pada Wati tentang perasaanku selama berada di Jogja –sementara itu dosen juga bercerita pada muridnya tentang peradaban manusia zaman lampau.

                “Gitu ya, memang berat sih harus tinggal jauh dari orangtua, apalagi cewek, duh gak kebayang deh kalau aku yang mengalaminya,” Wati menggeleng-geleng kepalanya.

                Bukkk...!!! sebuah spidol mendarat tepat di hadapan kami berdua, spontan kami menghadap ke depan dan mendapati dosen telah memasang wajah super duper menakutkannya. Ternyata sejak tadi dia memperhatikan kami. Aduuhhh... malu rasanya dilempar spidol di hadapan puluhan teman-teman yang lainnya. Dan akhirnya mau tidak mau kami menghentikan obrolan kami –tepatnya curhat singkat, karena takut kami akan diusir jika berulah lagi.

                Setengah jam kemudian kuliah akhirnya selesai. Setelah dosen keluar, aku membenturkan kepala di meja. “Ufftthh berat!” kataku.

                “Apa yang berat, Fa?” tiba-tiba suara yang sangat kukenal mencul disampingku. Dia Nina, teman sekelas sekaligus teman sekost. Kami sama-sama anak perantauan.

                “Meja ini, Nin,” ucapku acuh tak acuh.

                “Lo gelawak ya,” Nina yang datang dari Jakarta terdengar lucu ditelingaku saat ia menggunakan LoGue-nya.

                “Nggak, aku nangis,” aku masih nyaman menempelkan wajah di meja.

                “Ahh… susah ngomong sama kamu.” Nina berdecak. “Bangun Fa, makan yuk!” Nina menarik lenganku.

                “Yo Wess,” aku mengikuti kata-kata orang jawa saat mereka terdengar pasrah pada sesuatu.

    ###

                Aku berusaha menyemangati diri sendiri hingga semester pertama terlewati. Saat libur, aku kembali  ke kampung halamanku. Enam bulan bepisah dengan ibu membuatku melihat begitu banyak perubahan di dirinya, terlebih tubuhnya yang semakin kurus. Belum puas rasanya berkumpul dengan keluarga, dua minggu berlalu seperti sekejap mata. Aku harus kembali ke Jogjakarta untuk menuntut ilmu.

                Ibu mengantarku ke bandara. Saat sebelum masuk ruang tunggu, aku memeluk ibu dengan erat sambil menangis. Aku rasanya tak ingin pergi, namun ibu tersenyum sambil berkata “Ibu selalu mendoakanmu nak. Yang semangat belajarnya.” Isakku semakin menjadi mendengar kata-kata ibu. Di ruang tunggu pun aku masih belum bisa menahan air mata yang sepertinya tak peduli dengan banyaknya orang di sekitarku. Aku tak mau meninggalkan kota ini, aku ingin bersama ibuku, ditambah lagi bayangan-banyangan kerasnya hidup di daerah orang lain. Seperti hujan, air mata membanjiri wajahku. Namun aku harus menjalani semua ini, aku yang telah memilih jalan ini.

                Sampai di Jogja, aku harus menghela nafas panjang untuk berdamai dengan perasaanku sendiri. Satu semester telah kulewati, aku harus kuat.

                Hari-hari seperti biasanya kujalani, rutinitas kampus membuatku sibuk. Tugas-tugas kuliah menyita waktuku untuk sekedar meluangkan waktu pada hobby melukisku. Aku telah melupakan bagaimana bau cat yang bertemu dengan kuas dan kanvas. Aku harus berjuang di Jogja ini. Hingga suatu hari membuat aku benar-benar down. Aku merasa semangatku tak ada lagi. Aku merasa terlalu lelah untuk semuanya. Tangisku kembali tumpah. Bahkan di kampus aku seperti manusia robot, tak ada senyum.

                “Fa, ada apa denganmu?” Tanya Nina saat kami berjalan menuju kost. Aku tak menjawabnya. Hanya gelengan kepala sehingga mungkin membuat Nina makin khawatir dan kembali bertanya, “kamu sakit?” kembali aku menggelengkan kepala. Setelah sampai di depan pintu kamar, aku angkat suara “duluan ya Nin.” Kataku sambil melambaikan tangan.

                Ibu. Aku teringat pada ibu, segera kuambil handphoneku lalu mencari nomor yang bisa mengantar suaraku sampai di telinga ibu, begitupun sebaliknya. “Halo… Ibu…” ucapku terbata.

                “Iya, ada apa Fa?” suara ibu begitu lembut. Meski aku tak melihatnya, tapi aku yakin diujung kalimat ibu ada sebuah senyum.

                “Aku tidak sanggup ibu. Aku tak punya semangat lagi untuk belajar.”

                “Kenapa bisa, Fa?”

                “Entahlah bu. Aku capek.”

                Diam… tak ada suara ibu untuk beberapa detik, lalu “Masa disini Ibu semangat kerja lembur, cari uang buat kamu tapi kamunya disana yang nggak semangat belajar? semangat, Nak...” Mendengar kata-kata ibu, air mataku seperti tak bisa tertahan lagi, tangisku pecah. Jadi, ternyata ibu terlihat kurus karena sibuk bekerja mencari uang demi biaya kuliahku. Ibu telah banyak berkorban demi aku, dan mungkin telah banyak lelah yang harus ia pikul namun sedikitpun tak nampak di wajahnya. Aku telah sangat bersalah jika selalu mengeluh.  Ibu… aku berjanji akan semangat lagi, aku akan meraih citaku untukmu, kata-katamu akan kujadikan mantra dalam setiap langkahku diperantauan ilmu ini, Ibu…-“Masa disini Ibu semangat kerja lembur, cari uang buat kamu tapi kamunya disana yang nggak semangat belajar? semangat, Nak...

    ______________


    Arigatou buat kalian berdua
    - Pratiwi Hamzah
    - Gaffar Nawawi

    Posting Komentar