Sebenarnya penulisan cerpen ini terinspirasi dari dua orang yang 'mungkin' tisak saling kenal dan berada di tempat yang berbeda. Satu di Bogor dan satu di Jogja.
Alasan lain saya posting cerpen ini adalah sebagai ucapan terimakasih buat mereka berdua yang banyak memberi inspirasi. "semoga mereka bisa membaca cerpen ini... :D"
Silahkan 'nikmati' cerpen ini....
Fa dalam Perantauan Ilmu
Entah apa yang ada di
kepalaku saat itu sehingga aku melakukan hal sejauh ini. Kini aku berada jauh
dari kedua orang tuaku, jauh dari kampung halamanku, jauh dari teman-temanku,
jauh dari segala yang telah membesarkanku. Tapi nasi sudah menjadi bubur, semua
telah terlanjur. Aku harus menjalaninya.
Menginjak
masa perkuliahan, aku mendaftar di salah satu universitas ternama di kota
pelajar, Jogja. Bagiku, kota itu merupakan surga bagi orang-orang yang haus
akan ilmu. Sejak dulu memang aku mengidam-idamkan untuk melanjutkan study di sana. Karena itu saat keluar
hasil pengumuman kalau aku lulus, girangnya bukan main. Aku merasa ada di awan,
melayang. Dan lagi izin dari orangtua sudah kukantongi.
Tapi
saat ada di sini, tepat seminggu di sini, aku merasa keputusanku dulu kurang
tepat. Aku merasa tidak mampu beradaptasi di sini, ternyata jauh dari orangtua
itu sungguh sangat tidak mengenakkan. Sebelumnya semua kebutuhanku tiap hari
disediakan oleh orangtua, kini aku harus menyediakannya sendiri. Berat rasanya.
Namun aku harus bertahan dan melanjutkan apa yang telah kuputuskan sendiri. Entah
mengapa aku merasa keadaan tradisionalnya masih sangat kental. Aku menghibur
diri dengan menikmati keadaan Jogja yang
tenang dan damai. Selain itu, kota ini memiliki banyak toko buku maupun
perpustakaan. Dan memang itu semua yang membuatku sangat tergila-gila untuk
menutut ilmu di Jogja.
Bulan
pertama di kampus, aku merasa sangat canggung, datang dari luar daerah Jogja
membuatku tak tahu bahasa keseharian mereka, apalagi dosen yang mengajar kadang
kala menyelipkan bahasa jawa di tengah-tengah perkuliahan.
“Hey,
napa Fa, bete banget keliatannya,” tanya seorang teman yang mungkin sejak tadi
mengamatiku mencoret-coret kertas di atas meja.
“Ahhh..
nggak kok,” balasku.
“Gak
mungkin gak ada apa-apa, tuh muka udah bicara, hahaha” dia tertawa namun secara
sembunyi-sembunyi, dosen masih berkutat dengan penjelasannya yang sejak tadi
tak ada yang masuk di otakku.
“Mmm...
mungkin ini yang dinamakan kultur shock
ya Ti,” dan aku pun bercerita panjang lebar pada Wati tentang perasaanku selama
berada di Jogja –sementara itu dosen juga bercerita pada muridnya tentang
peradaban manusia zaman lampau.
“Gitu
ya, memang berat sih harus tinggal jauh dari orangtua, apalagi cewek, duh gak
kebayang deh kalau aku yang mengalaminya,” Wati menggeleng-geleng kepalanya.
Bukkk...!!!
sebuah spidol mendarat tepat di hadapan kami berdua, spontan kami menghadap ke depan
dan mendapati dosen telah memasang wajah super duper menakutkannya. Ternyata
sejak tadi dia memperhatikan kami. Aduuhhh... malu rasanya dilempar spidol di
hadapan puluhan teman-teman yang lainnya. Dan akhirnya mau tidak mau kami
menghentikan obrolan kami –tepatnya curhat singkat, karena takut kami akan
diusir jika berulah lagi.
Setengah jam kemudian kuliah akhirnya selesai. Setelah
dosen keluar, aku membenturkan kepala di meja. “Ufftthh berat!” kataku.
“Apa yang berat, Fa?” tiba-tiba suara yang sangat kukenal
mencul disampingku. Dia Nina, teman sekelas sekaligus teman sekost. Kami
sama-sama anak perantauan.
“Meja ini, Nin,” ucapku acuh tak acuh.
“Lo gelawak ya,” Nina yang datang dari Jakarta terdengar
lucu ditelingaku saat ia menggunakan LoGue-nya.
“Nggak, aku nangis,” aku masih nyaman menempelkan wajah di
meja.
“Ahh… susah ngomong sama kamu.” Nina berdecak. “Bangun
Fa, makan yuk!” Nina menarik lenganku.
“Yo Wess,” aku mengikuti kata-kata orang jawa saat mereka
terdengar pasrah pada sesuatu.
###
Aku berusaha menyemangati diri sendiri hingga semester
pertama terlewati. Saat libur, aku kembali
ke kampung halamanku. Enam bulan bepisah dengan ibu membuatku melihat
begitu banyak perubahan di dirinya, terlebih tubuhnya yang semakin kurus. Belum
puas rasanya berkumpul dengan keluarga, dua minggu berlalu seperti sekejap
mata. Aku harus kembali ke Jogjakarta untuk menuntut ilmu.
Ibu mengantarku ke bandara. Saat sebelum masuk ruang
tunggu, aku memeluk ibu dengan erat sambil menangis. Aku rasanya tak ingin pergi,
namun ibu tersenyum sambil berkata “Ibu selalu mendoakanmu nak. Yang semangat
belajarnya.” Isakku semakin menjadi mendengar kata-kata ibu. Di ruang tunggu
pun aku masih belum bisa menahan air mata yang sepertinya tak peduli dengan
banyaknya orang di sekitarku. Aku tak mau meninggalkan kota ini, aku ingin
bersama ibuku, ditambah lagi bayangan-banyangan kerasnya hidup di daerah orang
lain. Seperti hujan, air mata membanjiri wajahku. Namun aku harus menjalani
semua ini, aku yang telah memilih jalan ini.
Sampai di Jogja, aku harus menghela nafas panjang untuk
berdamai dengan perasaanku sendiri. Satu semester telah kulewati, aku harus
kuat.
Hari-hari seperti biasanya kujalani, rutinitas kampus
membuatku sibuk. Tugas-tugas kuliah menyita waktuku untuk sekedar meluangkan
waktu pada hobby melukisku. Aku telah melupakan bagaimana bau cat yang bertemu
dengan kuas dan kanvas. Aku harus berjuang di Jogja ini. Hingga suatu hari
membuat aku benar-benar down. Aku
merasa semangatku tak ada lagi. Aku merasa terlalu lelah untuk semuanya.
Tangisku kembali tumpah. Bahkan di kampus aku seperti manusia robot, tak ada
senyum.
“Fa, ada apa denganmu?” Tanya Nina saat kami berjalan
menuju kost. Aku tak menjawabnya. Hanya gelengan kepala sehingga mungkin
membuat Nina makin khawatir dan kembali bertanya, “kamu sakit?” kembali aku
menggelengkan kepala. Setelah sampai di depan pintu kamar, aku angkat suara
“duluan ya Nin.” Kataku sambil melambaikan tangan.
Ibu. Aku teringat pada ibu, segera kuambil handphoneku
lalu mencari nomor yang bisa mengantar suaraku sampai di telinga ibu, begitupun
sebaliknya. “Halo… Ibu…” ucapku terbata.
“Iya, ada apa Fa?” suara ibu begitu lembut. Meski aku tak
melihatnya, tapi aku yakin diujung kalimat ibu ada sebuah senyum.
“Aku tidak sanggup ibu. Aku tak punya semangat lagi untuk
belajar.”
“Kenapa bisa, Fa?”
“Entahlah bu. Aku capek.”
Diam… tak ada suara ibu untuk beberapa detik, lalu “Masa
disini Ibu semangat kerja lembur, cari uang buat kamu tapi kamunya disana yang
nggak semangat belajar? semangat,
Nak...” Mendengar kata-kata ibu, air mataku seperti tak bisa
tertahan lagi, tangisku pecah. Jadi, ternyata ibu terlihat kurus karena sibuk
bekerja mencari uang demi biaya kuliahku. Ibu telah banyak berkorban demi aku,
dan mungkin telah banyak lelah yang harus ia pikul namun sedikitpun tak nampak
di wajahnya. Aku telah sangat bersalah jika selalu mengeluh. Ibu… aku
berjanji akan semangat lagi, aku akan meraih citaku untukmu, kata-katamu akan
kujadikan mantra dalam setiap langkahku diperantauan ilmu ini, Ibu…-“Masa
disini Ibu semangat kerja lembur, cari uang buat kamu tapi kamunya disana yang
nggak semangat belajar?
semangat, Nak...”
______________
Arigatou buat kalian berdua
- Pratiwi Hamzah
- Gaffar Nawawi
Posting Komentar