• Home
  • Features
  • Fiksi
  • Travel
  • Privacy Policy
  • Gadis kecilmu rindu, Ayah.

    Beberapa hari lalu aku menelfonmu, dengan malu-malu aku mengatakan bahwa aku rindu.

    Aku benar-benar rindu, Ayah. Namun gadis -yang masih kau anggap kecil ini selalu malu mengutarakannya. Lima bulan lulus kuliah, dan sebulan merantau jauh darimu untuk meraih harap semoga bisa mandiri, tak membebanimu lagi dalam hal materi, namun mungkin malah semakin membebanimu dalam hal kekhawatiran.

    Kekhawatiranmu malah kadang mengalahkan segalanya. Apakah Ayah ingat saat aku hendak ke pulau jawa untuk pertama kalinya? Karena beberapa insiden kecil di Bandara, Ayah hampir saja melarangku pergi. Namun setelah aku dan kawanku meyakinkan Ayah bahwa semua akan baik-baik saja, akhirnya Ayah merelakanku pergi walau beberapa hari kemudian Mama memberitahuku bahwa Ayah sempat meneteskan air mata di dalam mobil masih di parkiran bandara karena terlalu khawatir dengan keadaanku. -sungguh maafkan aku Ayah atas hal itu, aku benar-benar berdosa telah membuatmu meneteskan airmata.



    Bukan hanya itu, Ayah. masih ingatkah Ayah saat pernah memarahi semua yang ada di sekelilingku karena tak menjawab telfon dari Ayah. Saat itu kita terpisah duaratus kilometer lebih. Ayah menelfonku berkali-kali, namun karena aku meninggalkan handphone di rumah dan pergi ke rumah sebelah, Ayah menjadi sangat khawatir. Ayah menelfon tante menanyakan di mana aku namun tante yang entah kemana saat itu juga tak bersamaku tidak tahu keberadaanku, Ayah menjadi sangat khawatir dan mnelfon adik tante, dan yaa aku memang sedang bersamanya. Suara Ayah meninggi saat berbicara padanya. Saat itu aku takut Ayah, aku takut akan kemarahan Ayah yang Ayah lampiaskan ke orang lain. Kenapa bukan aku saja yang Ayah marahi?
    Hal semacam ini juga terjadi lagi saat aku liburan usai wisuda. Ayah menelfonku tapi aku tak menjawabnya karena saat itu aku sedang menunaikan kewajiban sebagai seorang muslim, kalau tidak salah, Ayah sepertinya tiga kali menelfonku tapi tak terjawab. Lalu kemudian aku mengetahui (lagi) dari Mama bahwa Ayah memarahi Mama dan Kakakku dengan alasan mereka tak memperhatikanku, tidak menanyakan keadaanku yang 'sedang menikmati liburan dengan bahagianya', padahal sungguh aku tahu persis, orang yang juga sama khawatirnya dengan Ayah adalah Mama. Maafkan aku Ayah, aku terlalu sering membuatmu khawatir. Dan karena itu, aku juga meminta maaf pada semua yang terkena imbas kemarahan Ayah karena kekhawatirannya padaku. Aku selalu bertanya dalam hati, kenapa bukan aku saja yang Ayah marahi? Aku juga malu menanyakan hal itu langsung pada Ayah, seperti rasa maluku mengatakan bahwa aku rindu pada Ayah.

    dua diatas hanya sebagian kecil dari sejuta kekhawatiran Ayah pada gadis -yang Ayah masih anggap kecil ini. Aku masih punya berjuta memori hal yang Ayah lakukan saat mengkhawatirkanku, meski aku yakin masih banyak lainnya yang sepertinya Ayah simpan untuk Ayah saja tidak ditunjukkan padaku atau orang lain. Kekhawatiran-kekhawatiran itu ditimbun lalu tumbuh menjadi guratan jelas di wajahmu yang semakin berusia. Maafkan aku Ayah.

    Mungkin suatu saat khawatirmu akan berkurang saat seseorang datang padamu dan memintamu mempercayakan gadis -yang Ayah masih anggap kecil ini kepadanya. Seseorang dengan lembut hatinya meyakinkan Ayah bahwa aku akan baik-baik saja dalam lindungannya seperti Ayah melindungiku sepenuh hati. Suatu hari nanti Ayah, suatu hari nanti saat Allah mengirimkan orang itu pada Ayah. Jadi, tetap sehat ya Ayah sampai hari itu tiba.

    Aku rindu, Ayah. sampaikan juga rinduku pada Mama. tidak ada rindu yang lebih besar dari rinduku pada kalian berdua. Sayang kalian. <3 p="">


    Balikpapan, 01.09 wita

    1 komentar

    1. engkau begitu menyayangi ayah mu wahai sahabatku,,,tapi asal kamu tau itu semua sangat menarik.

      BalasHapus