• Home
  • Features
  • Fiksi
  • Travel
  • Privacy Policy
  • LA SABBARA’


    sedikit share cerpenku yang di muat di Surat Kabar Identitas UNHAS di awal bulan Januari.
    selamat membaca... ^^



    LA SABBARA’

                “Oo... Sangkala pergiko ambilkanki rumput sapinya Puang Beddu,” Dari belakang rumah, paman meneriaki seorang pemuda di ruang makan.
                “Iye’. Sebentarpi. Selesaipa makan Puang,” Pemuda yang bernama Sangkala ini makan begitu lahapnya.
                “Cepat mako, laparki sapinya orang,” Suara paman meninggi.
                “Iye’.”
                Setelah lama menunggu paman semakin garang karena pemuda yang dipanggilnya dari tadi tak kunjung muncul juga. Sambil memperbaiki ikatan sarungnya, ia melangkah menuju ruang makan. Ia lebih garang lagi saat melihat Sangkala bersiul-siul sambil mencuci piring.
                “Hei... Sangkala apa tadi kusuruhkanko?” paman melototi keponakannya.
                “Iye’ kutahu ji tapi disuruhka dulu cuci piring.” Dengan senyum Sangkala menjawab pertanyaan pamannya.
                “Siapa suruhko?” paman bertolak pinggang.
                “tanteku”
                “Jadi kau lebih dengar perintahna tantenu daripada perintahku?” suara paman semakin tinggi dan memang tak pernah terdengar rendah.
                “Bukan begitu Puang.”
                “Jadi karena apa? Hah!” paman maju selangkah lebih dekat dengan Sangkala sehingga membuat yang dihadapannya menunduk.
                Sangkala hanya terdiam. Dia sudah terbiasa dengan keadaan seperti itu, dan jurus terampuh dari semua jurus yaitu diam. Pernah suatu ketika dia membalas pertanyaan pamannya tiba-tiba jemari pamannya yang kasar dan keras mendarat di pipi Sangkala.
                “Hei...hei...kenapa ribut-ribut? Sampai di luar didengar,” istri paman datang.
                “Inie, anak satu inie tidak mau sekali mendengar. Kusuruh pergi ambilkanki rumput sapinya Daeng Beddu, eh... tinggalki cuci piring. Tidak mau mentong nadengar kalau saya suruhki.”
                “Edede... ituji pale. Baru begitu marah-marahmi sedeng. Apa itu nabilang tetangga kalau setiap hariko nadengar berteriak-teriak. Mungkin nakira mako orang, orang gila,” istri paman cengengesan.
                “Apa nubilang? Orang gila? Berani-beranina kau bilangi suamimu gila. Untungji kau perempuan...”
                “Kenapa kah kalau bukan perempuan? Mauko pukulka? Pukulma ee... tidak takutja sama kau,” istri paman maju selangkah mendekati suaminya.
                Paman juga maju selangkah. Secepat kilat tiba-tiba tangan kanan paman sudah mendarat di pipi kiri istrinya. Sangkala sangat terkejut melihat kejadian itu. Sudah tiga tahun ia tinggal bersama paman dan istrinya, namun baru kali ini ia melihat paman menampar istrinya. Sudah dua bulan terakhir ini paman bersikap aneh. Sebelum kejadian dua bulan yang lalu, sebenarnya paman tidak seperti ini.
                Kejadian itu berawal saat anak satu-satunya paman meninggal dunia. Dia tidak bisa menerima ditinggalkan anak kesayangannya. Semenjak kematian anaknya, sering dia berprilaku layaknya orang yang kehilangan akal. Seperti mencaci maki orang-orang yang lewat di depan rumahnya atau kadang berteriak-teriak tidak jelas di jalanan. Namun beberapa jam kemudian dia akan kembali normal setelah duduk terdiam.
                Tidak heran jika paman sangat merasa kehilangan karena anak satu-satunya itu sangat dibanggakannya. Dia sangat pintar, meskipun anak desa, dia sering diikutkan lomba oleh guru-gurunya di sekolah. Dia juga sangat baik, tak pernah mengeluh meski harus disuruh sana sini oleh ibunya. Sangkala sebagai sepupunya juga sangat merasa kehilangan. Bagaimana tidak, sepupunya itu sering membantu pekerjaannya mengambil rumput untuk makanan sapi. Bahkan dia sering membantu Sangkala menyelesaikan tugas-tugas sekolah walaupun kelas Sangkala lebih tinggi daripada dia.
                “Aaaaarrrrgggghhhh..... pergi semua mako!” paman mulai mengamuk setelah menampar istrinya.
                “Haruska pergi mana!” istri paman yang menangis sambil memegang pipi bekas tamparan paman juga berteriak sangat keras.
                Sangkala yang menyaksikan kejadian itu hanya bisa mematung dalam ketakutan. Meskipun sudah biasa mendengar pertengkaran seperti itu, namun baru kali ini dia melihat istri paman mengangis sambil berteriak-teriak.
                “Pergiko cari anakku, terserah dimana. Kau juga Sangkala, pergiko cari anakku, janganko pulang kalau tidak kau dapat anakku!” Paman memelototi istrinya dan Sangkala.
                Sangkala merasa ketakutan, dia tidak tahu harus bagaimana.
                “Tidak adami anakmu, matimi. Sadarko itu!” isak istri paman semakin menjadi-jadi.
                “Tidak, berhentiko bilang begitu! Masih hidup anakku!” suara paman semakin menggelegar, melangkah maju ke hadapan istrinya, lalu tiba-tiba menamparnya lagi.
                “Kenapa selaluka jadi korban? Kalau memang mauko ketemu anakmu, susulki.” Kata istri paman lalu pergi meninggalkan rumah.
                Sangkala masih mematung ditempatnya. Dia tidak tahu harus bagaimana jika melihat amukan pamannya kambuh. Dia juga tidak berani mendekati pamannya. Selalu, dari jauh dia hanya bisa mengamati amukan pamannya. Tapi kali ini, dia merasa bersalah karena berfikir amukan kali ini gara-gara dia. Sangkala berfikir kalau saja dia langsung menangggapi perintah pamannya, kejadian ini tidak akan terjadi, dan istri paman tidak akan pergi dari rumah lagi. Biasanya kalau bertengkar, istri paman akan pergi ke rumah saudaranya dan akan kembali jika paman menjemputnya.
                Tiba-tiba paman berhenti berteriak, diam lalu duduk di lantai. Sangkala heran melihat tingkah pamannya, tidak biasanya secepat itu amukan paman mereda. Sangkala hendak melanjutkan pekerjaannya namun paman kembali meneriakinya. “Sangkala, pergiko cari anakku. Jemputki, bawa pulang. Janganko pulang kalau tidak nudapatki!” Ucapan paman membuat Sangkala terkejut, bukan hanya kata-katanya namun dari cara bicaranya juga aneh, paman mengatakan semua itu dengan lemah lembut, tidak dengan teriakan.
                “Tapi Puang...” ucap Sangkala terbata-bata.
                “Tidak ada tapi-tapi, pergiko cepat cariki. Pergi mako sekarang, mauka juga cari anakku, mauka ketemu sama anakku.”
                “Iye puang.” Sangkala keluar dari rumah, namun dia tidak tahu harus kemana mencari sepupunya, sepupu yang sudah dua bulan yang lalu meninggal karena kecelakaan.
                Sangkala memutuskan untuk pergi ke lapangan luas di desanya. Tempat itu mengingatkannya pada sepupunya yang juga sangat jago bermain bola. Hingga sore Sangkala disana, dia ingin pulang namun takut dimarahi pamannya, dia takut kalau dia pulang pamannya akan mengamuk lagi karena Sangkala tidak bisa membawa pulang anak pamannya.
                Namun dia harus pulang, banyak pekerjaan rumah yang harus dia selesaikan. Apalagi saat ini pasti istri paman tidak kembali ke rumah. Dengan mengumpulkan semua keberanian dan kepasrahannya dimarahi paman Sangkala pulang ke rumah. Namun, masih jauh dari rumah pamannya, dia keheranan melihat orang-orang berlarian menuju rumah pamannya. “Ada apa ini?” tanya Sangkala dalam hati. Sangkala tak mau kalah, dia pun berlari sekuat tenaga menuju rumah. Belum sampai, dia sudah dicegat oleh bapak-bapak paru baya.
                “Dari manako Sangkala?” tanya bapak-bapak itu.
                “Dari lapanganka, ada apa ini? Kenapa banyak sekali orang di rumahnya Puangku?”
                “Sangkala, bunuh diriki Puangnu. Gantung diriki.”
    Seperti gelegar yang menyambar, Sangkala tidak bisa mempercayainya. “Mana mungkin Puangku bunuh diri, baru-baru nasuruhka pergi cari anaknya.” Lirihnya dengan suara lemah. Sangkala berlari menerobos orang-orang yang ada disekitar rumah pamannya. Sampainya di dalam rumah, dia berhenti lalu menutup mulutnya tak kuasa menahan tangis melihat jasad pamannya yang telah diturunkan dari tempatnya menggantung diri oleh warga sekitar.
    Sangkala teringat kata-kata istri paman yang menyuruh paman untuk menyusul anaknya. Dan sekarang, paman benar-benar menyusul anak kesayangannya. “Pantas nasuruhka pergi” ucap Sangkala terbata-bata sambil terisak.
    Meskipun Sangkala merasa sangat menyesal meninggalkan pamannya sendirian di rumah, dia juga tidak bisa mengubah semuanya. Penyesalannya pun tak bisa menghidupkan kembali pamannya. Sangkala hanya bisa menangis.
    Istri paman datang, dia menangis sejadi-jadinya. Sangkala sebenarnya ingin marah pada istri pamannya karena telah mengucapkan kata-kata yang membuat pamannya mengambil keputusan seperti ini. Namun Sangkala juga tidak tega melihat istri pamannya yang dalam waktu dekat ini telah kehilangan dua orang yang sangat dicintainya, anak dan suami. Kini mereka berdua saling bertatapan dengan wajah yang basah oleh air mata, istri paman sama seperti Sangkala, dia hanya bisa menangis dan tidak tahu harus berbuat apa. Apalah daya, nasi sudah menjadi bubur. Semua tak bisa terulang. Paman telah pergi menyusul anaknya.
     “Sabbara” itulah nama pamannya, dia sering dijuluki La Sabbara’ oleh tetangganya karena kebaikannya pada semua orang dan dikenal sangat sabar, tapi semua itu hanya sebelum anak satu-satunya meninggal. Kini, sepertinya julukan itu tidak bisa digunakan lagi karena sang paman tidak bisa sabar bertemu dengan anak kesayangannya.
                 


    Balikpapan, 2 januari 2012
    Ila Aswil

    2 komentar