sedikit share cerpenku yang di muat di Surat Kabar Identitas UNHAS di awal bulan Januari.
selamat membaca... ^^
LA SABBARA’
“Oo...
Sangkala pergiko ambilkanki rumput sapinya Puang Beddu,” Dari
belakang rumah, paman meneriaki seorang pemuda di ruang makan.
“Iye’.
Sebentarpi. Selesaipa makan Puang,” Pemuda yang bernama
Sangkala ini makan begitu lahapnya.
“Cepat
mako, laparki sapinya orang,” Suara paman meninggi.
“Iye’.”
Setelah
lama menunggu paman semakin garang karena pemuda yang dipanggilnya dari tadi
tak kunjung muncul juga. Sambil memperbaiki ikatan sarungnya, ia melangkah
menuju ruang makan. Ia lebih garang lagi saat melihat Sangkala bersiul-siul
sambil mencuci piring.
“Hei...
Sangkala apa tadi kusuruhkanko?” paman melototi keponakannya.
“Iye’
kutahu ji tapi disuruhka dulu cuci piring.” Dengan senyum
Sangkala menjawab pertanyaan pamannya.
“Siapa
suruhko?” paman bertolak pinggang.
“tanteku”
“Jadi
kau lebih dengar perintahna tantenu daripada perintahku?” suara
paman semakin tinggi dan memang tak pernah terdengar rendah.
“Bukan
begitu Puang.”
“Jadi
karena apa? Hah!” paman maju selangkah lebih dekat dengan Sangkala sehingga
membuat yang dihadapannya menunduk.
Sangkala
hanya terdiam. Dia sudah terbiasa dengan keadaan seperti itu, dan jurus
terampuh dari semua jurus yaitu diam. Pernah suatu ketika dia membalas
pertanyaan pamannya tiba-tiba jemari pamannya yang kasar dan keras mendarat di
pipi Sangkala.
“Hei...hei...kenapa
ribut-ribut? Sampai di luar didengar,” istri paman datang.
“Inie,
anak satu inie tidak mau sekali mendengar. Kusuruh pergi ambilkanki
rumput sapinya Daeng Beddu, eh... tinggalki cuci piring. Tidak
mau mentong nadengar kalau saya suruhki.”
“Edede...
ituji pale. Baru begitu marah-marahmi sedeng. Apa itu nabilang
tetangga kalau setiap hariko nadengar berteriak-teriak. Mungkin nakira
mako orang, orang gila,” istri paman cengengesan.
“Apa
nubilang? Orang gila? Berani-beranina kau bilangi suamimu gila. Untungji
kau perempuan...”
“Kenapa
kah kalau bukan perempuan? Mauko pukulka? Pukulma ee...
tidak takutja sama kau,” istri paman maju selangkah mendekati suaminya.
Paman
juga maju selangkah. Secepat kilat tiba-tiba tangan kanan paman sudah mendarat
di pipi kiri istrinya. Sangkala sangat terkejut melihat kejadian itu. Sudah
tiga tahun ia tinggal bersama paman dan istrinya, namun baru kali ini ia
melihat paman menampar istrinya. Sudah dua bulan terakhir ini paman bersikap
aneh. Sebelum kejadian dua bulan yang lalu, sebenarnya paman tidak seperti ini.
Kejadian
itu berawal saat anak satu-satunya paman meninggal dunia. Dia tidak bisa
menerima ditinggalkan anak kesayangannya. Semenjak kematian anaknya, sering dia
berprilaku layaknya orang yang kehilangan akal. Seperti mencaci maki
orang-orang yang lewat di depan rumahnya atau kadang berteriak-teriak tidak
jelas di jalanan. Namun beberapa jam kemudian dia akan kembali normal setelah
duduk terdiam.
Tidak
heran jika paman sangat merasa kehilangan karena anak satu-satunya itu sangat
dibanggakannya. Dia sangat pintar, meskipun anak desa, dia sering diikutkan
lomba oleh guru-gurunya di sekolah. Dia juga sangat baik, tak pernah mengeluh
meski harus disuruh sana sini oleh ibunya. Sangkala sebagai sepupunya juga
sangat merasa kehilangan. Bagaimana tidak, sepupunya itu sering membantu
pekerjaannya mengambil rumput untuk makanan sapi. Bahkan dia sering membantu
Sangkala menyelesaikan tugas-tugas sekolah walaupun kelas Sangkala lebih tinggi
daripada dia.
“Aaaaarrrrgggghhhh.....
pergi semua mako!” paman mulai mengamuk setelah menampar istrinya.
“Haruska
pergi mana!” istri paman yang menangis sambil memegang pipi bekas tamparan
paman juga berteriak sangat keras.
Sangkala
yang menyaksikan kejadian itu hanya bisa mematung dalam ketakutan. Meskipun
sudah biasa mendengar pertengkaran seperti itu, namun baru kali ini dia melihat
istri paman mengangis sambil berteriak-teriak.
“Pergiko
cari anakku, terserah dimana. Kau juga Sangkala, pergiko cari anakku,
janganko pulang kalau tidak kau dapat anakku!” Paman memelototi istrinya dan
Sangkala.
Sangkala
merasa ketakutan, dia tidak tahu harus bagaimana.
“Tidak
adami anakmu, matimi. Sadarko itu!” isak istri paman
semakin menjadi-jadi.
“Tidak,
berhentiko bilang begitu! Masih hidup anakku!” suara paman semakin
menggelegar, melangkah maju ke hadapan istrinya, lalu tiba-tiba menamparnya
lagi.
“Kenapa
selaluka jadi korban? Kalau memang mauko ketemu anakmu, susulki.”
Kata istri paman lalu pergi meninggalkan rumah.
Sangkala
masih mematung ditempatnya. Dia tidak tahu harus bagaimana jika melihat amukan
pamannya kambuh. Dia juga tidak berani mendekati pamannya. Selalu, dari jauh
dia hanya bisa mengamati amukan pamannya. Tapi kali ini, dia merasa bersalah
karena berfikir amukan kali ini gara-gara dia. Sangkala berfikir kalau saja dia
langsung menangggapi perintah pamannya, kejadian ini tidak akan terjadi, dan
istri paman tidak akan pergi dari rumah lagi. Biasanya kalau bertengkar, istri
paman akan pergi ke rumah saudaranya dan akan kembali jika paman menjemputnya.
Tiba-tiba
paman berhenti berteriak, diam lalu duduk di lantai. Sangkala heran melihat
tingkah pamannya, tidak biasanya secepat itu amukan paman mereda. Sangkala
hendak melanjutkan pekerjaannya namun paman kembali meneriakinya. “Sangkala,
pergiko cari anakku. Jemputki, bawa pulang. Janganko
pulang kalau tidak nudapatki!” Ucapan paman membuat Sangkala terkejut,
bukan hanya kata-katanya namun dari cara bicaranya juga aneh, paman mengatakan
semua itu dengan lemah lembut, tidak dengan teriakan.
“Tapi
Puang...” ucap Sangkala terbata-bata.
“Tidak
ada tapi-tapi, pergiko cepat cariki. Pergi mako sekarang,
mauka juga cari anakku, mauka ketemu sama anakku.”
“Iye
puang.” Sangkala keluar dari rumah, namun dia tidak tahu harus kemana
mencari sepupunya, sepupu yang sudah dua bulan yang lalu meninggal karena
kecelakaan.
Sangkala
memutuskan untuk pergi ke lapangan luas di desanya. Tempat itu mengingatkannya
pada sepupunya yang juga sangat jago bermain bola. Hingga sore Sangkala disana,
dia ingin pulang namun takut dimarahi pamannya, dia takut kalau dia pulang
pamannya akan mengamuk lagi karena Sangkala tidak bisa membawa pulang anak
pamannya.
Namun
dia harus pulang, banyak pekerjaan rumah yang harus dia selesaikan. Apalagi
saat ini pasti istri paman tidak kembali ke rumah. Dengan mengumpulkan semua
keberanian dan kepasrahannya dimarahi paman Sangkala pulang ke rumah. Namun,
masih jauh dari rumah pamannya, dia keheranan melihat orang-orang berlarian
menuju rumah pamannya. “Ada apa ini?” tanya Sangkala dalam hati. Sangkala tak
mau kalah, dia pun berlari sekuat tenaga menuju rumah. Belum sampai, dia sudah
dicegat oleh bapak-bapak paru baya.
“Dari
manako Sangkala?” tanya bapak-bapak itu.
“Dari
lapanganka, ada apa ini? Kenapa banyak sekali orang di rumahnya Puangku?”
“Sangkala,
bunuh diriki Puangnu. Gantung diriki.”
Seperti gelegar
yang menyambar, Sangkala tidak bisa mempercayainya. “Mana mungkin Puangku
bunuh diri, baru-baru nasuruhka pergi cari anaknya.” Lirihnya dengan suara
lemah. Sangkala berlari menerobos orang-orang yang ada disekitar rumah
pamannya. Sampainya di dalam rumah, dia berhenti lalu menutup mulutnya tak
kuasa menahan tangis melihat jasad pamannya yang telah diturunkan dari
tempatnya menggantung diri oleh warga sekitar.
Sangkala
teringat kata-kata istri paman yang menyuruh paman untuk menyusul anaknya. Dan
sekarang, paman benar-benar menyusul anak kesayangannya. “Pantas nasuruhka
pergi” ucap Sangkala terbata-bata sambil terisak.
Meskipun
Sangkala merasa sangat menyesal meninggalkan pamannya sendirian di rumah, dia
juga tidak bisa mengubah semuanya. Penyesalannya pun tak bisa menghidupkan
kembali pamannya. Sangkala hanya bisa menangis.
Istri paman
datang, dia menangis sejadi-jadinya. Sangkala sebenarnya ingin marah pada istri
pamannya karena telah mengucapkan kata-kata yang membuat pamannya mengambil
keputusan seperti ini. Namun Sangkala juga tidak tega melihat istri pamannya
yang dalam waktu dekat ini telah kehilangan dua orang yang sangat dicintainya,
anak dan suami. Kini mereka berdua saling bertatapan dengan wajah yang basah
oleh air mata, istri paman sama seperti Sangkala, dia hanya bisa menangis dan
tidak tahu harus berbuat apa. Apalah daya, nasi sudah menjadi bubur. Semua tak
bisa terulang. Paman telah pergi menyusul anaknya.
“Sabbara” itulah nama pamannya, dia sering
dijuluki La Sabbara’ oleh tetangganya karena kebaikannya pada semua orang dan
dikenal sangat sabar, tapi semua itu hanya sebelum anak satu-satunya meninggal.
Kini, sepertinya julukan itu tidak bisa digunakan lagi karena sang paman tidak
bisa sabar bertemu dengan anak kesayangannya.
Balikpapan, 2 januari 2012
Ila Aswil
keren ceritanya ila :)
BalasHapusmakasih kak...^^ ini diterbitkan di identitas (pamer.. hehehe)
BalasHapus